Tentang Ayah — Pandangan anak gadis tentang sosok Ayahnya
Ini adalah bagaimana aku, sebagai anak perempuan, memandang seorang Ayah. Mungkin bisa jadi pelajaran bagi kalian yang punya anak perempuan. Atau kalian yang ingin memahami Ayahnya.
Ayahku Imperfect
Ayah dan ibuku bertemu ketika mereka masih kuliah di UNPAD. Mereka satu jurusan. Mereka dekat. Mereka pacaran dan kemudian menikah.
Sejak kecil aku selalu memandang Ayahku sebelah mata. Karena aku pikir Ayahku tidak cocok dengan Ibuku. Ibuku mojang Bandung dengan kulit putih dan paras cantik, anak yang rajin dan penurut, dari keluarga yang cukup terpandang. Sedangkan Ayahku, ehm.. secara paras memang tidak tampan. Ayahku perokok, sedikit nakal, pemalas, banyak alasan, suka pulang malam. Itu yang sempat membuatku kesal ketika aku kecil.
Sewaktuku kecil, aku selalu nempel dengan Ibuku. Kemana-mana aku inginnya sama ibu. Kalau dipikir-pikir, aku rewel sekali waktu itu. Buat ibuku susah. Tak hanya rewel, jika memegang sesuatu sering kujatuhkan. Tanpa sengaja. Genggamanku kurang erat dan memang lemah. Tiap malam aku mengeluh pegal. Sampai ibuku harus terjaga tiap malam untuk memijat kakiku agar aku bisa tertidur. Tak hanya itu, aku juga cacingan. Ibuku harus rela mengambil cacing dari pantatku agar aku bisa tenang dan tidak rewel lagi. Tak berhenti disitu aku merepotkan ibuku. Waktu kecil aku susah makan. Terutama serat. Sehingga membuatku sembelit. Ibuku sampai harus mengambil kotoran dari bokongku secara langsung. Ckckck…. betapa aku anak yang sangat merepotkan.
Terlepas dari betapa merepotkannya diriku, suatu hari ibuku membawaku ke sebuah Yayasan Tumbuh Kembang Anak. Disana aku melihat banyak mainan. Aku tak mengerti kenapa aku dibawa kesana. Tapi disana aku hanya bermain dengan mainan dan tertidur. Dari bilik kamar bermain aku melihat ibuku berbincang dengan psikolog yang memeriksaku. Tapi aku tak sadar kapan diperiksa. Hanya dilontarkan beberapa pertanyaan saja. Mungkin ingatan itu beberapa blur dan hilang karena tak kuanggap penting.
Bertahun-tahun aku memandang Ibuku jauh superior dari Ayahku. Karena aku cukup materialistis saat kecil, ada sebuah moment dimana guru kami mendata penghasilan orang tua murid untuk sumbangan sekolah. Disitu aku tahu gaji Ayah dan Ibuku. Gaji Ibuku jauh lebih besar dari gaji Ayah. Disitu aku terus bertanya kepada Ibuku. “Kok ibu mau sih nikah sama Ayah?” heranku seheran-herannya. Waktu itu ibuku jawab “Ya soalnya Ayah tu baik”. “Hah? Baik apanya? orang males dan rokokan gitu kok” protesku. Ibuku hanya tertawa kecil. Tapi aku serius dengan pertanyaanku. Karena aku sering kecewa dengan Ayah yang telat mengantarku ke sekolah, bahkan telat menjemput juga sampai sekolah kosong semua karena murid-murid sudah pada pulang. Mungkin itu kenapa ketika kelas 2 SD aku sudah memutuskan untuk pulang sendiri. Umur sekecil itu aku sudah naik bus 2 kali dengan jarak 20km untuk pulang kerumah, karena jarak sekolahku sangat jauh dari rumah.
Ayahku Keras Kepala
2018 adalah tahun yang berat bagiku dan keluarga. Karena tanpa disangka-sangka, Ibuku yang memiliki pola hidup sehat, terkena Kangker Serviks. Aku waktu itu benar-benar berpikir Ibuku bisa sembuh. Karena dia sangat tahu bagaimana mengurus hidupnya. Dan dia tak akan menolak obat walau itu pahit. Di tahun itu aku baru mengenal Ayahku.
Ayahku yang setia menjaga Ibu di usianya yang sudah tak produktif, membalur Ibuku setiap malam sekujur tubuhnya, yang aku tahu itu melelahkan. Tak ada hal yang lebih melelahkan dari merawat orang sakit. Bahkan lembur berhari-hari dikantor gak ada apa-apanya dibanding merawat orang sakit. Dan Ayahku gak pernah meninggalkan ibuku. Ia mencuci baju Ibuku, menyuapi Ibuku, menghibur Ibuku dan tak pernah menampakkan kesedihannya didepan Ibu. Seolah semua baik-baik saja.
Sebenarnya aku sempat kesal dengan Ayahku yang tak memperbolehkan kami menjual mobil lama dan membeli mobil baru yang lebih kecil. Ibuku butuh transportasi kerumah sakit, bolak-balik. Dan Gocar tidak bisa sampai depan rumah sehingga Ibu masih harus jalan kedepan gang sambil menahan sakit. Tapi kami ngotot. Akhirnya kami membeli mobil baru. Tapi ketika mobil itu berhasil dibeli, Ayah tak memperbolehkannya dibawa ke Malang, karena saat itu Ibu dirawat di Malang. Katanya, “Nanti aja kalo Ibu pulang ke Jogja”. Dan sampai akhirnya Ibu meninggal di Malang dan tak pernah mengendarai mobil yang kami beli untuknya. Aku kesal karena ayahku sangat keras kepala.
Aku kesal. Kesal sekali karena Ibu sedari dahulu tak pernah punya mobil baru. Kami selalu membeli mobil lawas dan selalu mogok. Disaat ini berhasil kami beli, Ibu malah tidak bisa menaikinya. Padahal mobil itu untuknya. Aku bahkan berjanji akan belajar nyetir agar bisa membawanya jalan-jalan kemanapun. Tapi hal itu tak pernah terjadi.
Namun aku coba pahami posisi Ayah. Kenapa ia tak mau mobil itu dibawa ke Malang. Karena biaya berobat ibu masih dibiayai oleh adik dari Ayahku, dan ibu bisa dirawat di RS terbaik di Malang, karena Tanteku itu bekerja disana. Biaya radiasi ibu semuanya ditanggung oleh Tanteku yang kebetulan dokter Spesialis Kandungan. Semua dokter yang menangani ibu kenal dengan Tanteku. Tak heran semua perawatan berjalan mudah. Dan ketika kami dipinjami privilege dan dana berobat, kami malah membeli mobil? Itu yang Ayahku pikirkan. Karena Ayah merasa tak pantas ketahuan membeli mobil dikala situasi seperti ini. Disatu sisi ayahku sangat emosional karena keadaan ibuku yang semakin menurun. Sehingga aku tak berani membantah.
Februari 2019 keadaan ibuku mulai memburuk. Ibuku selalu memikirkan keturunannya agar bisa hidup nyaman. Makanya dia mengambil rumah baru agar kelak bisa kami gunakan. Karena dari keluarganya yang cukup terpandang, dan dari circle teman-temannya di Bandung Ibuku yang nampak paling sederhana. Bahkan ketika dia sakit dia masih ngotot menyuruhku untuk membeli rumah. Karena baru aku yang mampu. Ketika telpon terakhir, dengan suara yang terengah-engah, ibuku bilang “Rumah dibagi 3 ya…” sesak dadaku disaat terakhir bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. Kami akan baik-baik saja, bu. Walau ga punya rumah, Allah yang jamin kita akan baik-baik aja.
Menjelang jam-jam terakhir Ibuku, Ayahku pulang ke Jogja karena dia harus mengambil pensiunan. Jika tak diambilnya dia tak akan dapat pensiunan lagi bulan depan dan seterusnya. Dan hari itu kami tak pernah tahu bahwa Ayah pamit ke Jogja untuk meninggalkan ibu selamanya. Tangisku habis ditengah malam. Ketika Ibu ngga ada jam 2 pagi, kamipun sudah ikhlas.
Aku melihat Ayah. Dia tak menangis. Disaat seperti ini sebenarnya dia sah-sah saja menangis. Tapi ia tak pernah mau tunjukan tangisnya didepan anak-anaknya. Ia bilang, “Gapapa kalo kamu mau nangis”. “Enggak, udah kok tadi malam”. Kemudian kami bergegas menyiapkan rumah untuk kedatangan jenazah ibu. Ayah mengorganisir semuanya. Tetangga, semuanya… tanpa panik. Ayah sudah ikhlas dari semalam tadi. Bahkan sebelum ibu meninggal dia sudah menelpon tetangga bahwa istrinya kritis. Jika terjadi apa-apa dia minta bantuan. Maka dari itu tetangga sudah siap dirumah sejak subuh untuk membantu.
Sejak saat itu aku kagum dengan Ayahku. Ayahku yang kupandang sebelah mata selama ini, aku mulai mengaguminya. Tak pernah aku memperlihatkan keputus-asaannya, kegelisahannya terhadap dunia. Semua dibalut candaan. Padahal aku tahu dibalik candaan itu ada banyak luka. Aku sempat bilang, bahwa aku tak mau menikah dengan orang yang seperti Ayahku. Sekarang aku sadar. Tak ada lagi laki-laki yang seperti Ayahku sekarang.
Sejak saat itu aku mulai banyak ngobrol dengan Ayah…
Aku, Perfectionist dan segala Imperfection adalah sebab Ayahku
Ayah bercerita ketika kecil, ketika aku mulai menunjukan behavior yang aneh seperti lemahnya genggamanku ketika memegang benda, sering jatuh, sering pegal setiap malam, lalu diperiksakan ke dokter medis dibilangnya tak terjadi apa-apa, lalu dibawalah aku ke Yayasan Tumbuh Kembang Anak untuk konsultasi dengan Pskiater anak.
“Anak ini perfectionist dan ketika ditanya, dia gak suka sama Ayahnya”
Astaghfirullah…that’s why aku serewel itu nempel sama Ibu.
Karena aku menganggap Ibu sosok yang perfect. Ibuku cantik dan putih, pintar, dari SMA favorit bandung (SMA 3) lalu kuliah di Unpad, lalu S2 di Unpad, lalu jadi Dosen dengan income lebih besar daripada ayahku, lalu Ibuku juga religius, pandai masak, serba bisa. Kehadiran Ayahku hanya kuanggap lubang dari kesempurnaan kehidupan Ibu, yang sebenarnya Ibu bisa dapat yang lebih tampan dan perfect. Waktu itu aku pernah bertanya “Ibu kok gak sama yang lebih ganteng aja sih? Kan kalo Ayahnya ganteng aku juga jadi cantik”. Ibu bilang, “Ya kalo Ibu gak sama Ayah kamu gak akan lahir”. Aku terheran dengan jawaban ibuku karena aku berfikir, bahkan aku ngga minta untuk dilahirkan.
Aku perfectionist sehingga aku tak suka dengan kekurangan-kekurangan dalam hidupku yang membuatku insecure. Dan semua ketidak sempurnaan itu, aku menyalahkan Ayahku. Salah satunya adalah parasku dan warna kulitku. Itu semua karena Ayahku. Bahkan ketika Ayahku ulang tahun aku pernah membuat kado untuknya, sebuah gambar keluarga dengan caption “Sejelek-jeleknya dirimu, kau tetap Ayahku”. Dan Ayah sangat menghargai gambar itu bahkan sampai dipiguranya dan dipajang diruang tamu.
Waktu kecil, aku sering insecure ketika kumpul dengan keluarga ibuku yang notabene good looking, lebih rich dan dimataku mereka perfect. Tapi ibuku selalu menjunjung skill dan kecerdasanku diantara keluarga-keluarganya. Ya karena itu yang bisa dibanggakan. Padahal sepupu yang lain juga tak kalah juga prestasinya. Dan ibuku selalu protes karena aku tak akrab dengan mereka. Bukannya tak mau, aku yang introvert sangat susah bergaul waktu itu. Walau begitu aku suka mudik ke Bandung karena banyak tempat-tempat bagus. Tapi kami sangat jarang ke Bandung karena ongkos mudiknya mahal. Setiap kali Ibu bilang tak ada uang untuk mudik, dalam hati aku menyalahkan Ayahku. Bahkan ketika mudik dengan mobilpun, mobilnya sering sekali mogok dijalan. Dan aku masih menyalahkan Ayahku. Walau dalam hati. Seandainya at least penghasilannya sepadan Ibuku pasti kita bisa beli mobil bagus. Atau, ini semua gara-gara Ayah malas merawat mobil ya karena dia orang yang malas. Batinku.
Kecerdasanku Kesenian dan Sosialku dari Ayahku. Kecerdasan Akademikku dari Ayah dan Ibuku.
Namun aku bersyukur Ibuku menyuruhku masuk ke Pondok Pesantren yang mana aku bisa bergaul dengan teman-teman dari berbagai lapisan masyarakat. Sehingga aku bisa mensyukuri hidupku. Aku bisa stand-out disana berkat kecerdasan dari kedua orangtuaku. Terlepas dari segala kejelekan Ayahku yang aku pandang begitu, sebelumnya, aku jadi berfikir bahwa Ayahku adalah orang yang cerdas dan cerdik. Dia juga berasal dari SMA favorit di Malang. Jadi otaknya tidak abal. Lalu sekolah di Unpad. Dan Ayahku sangat skill-full. Bisa segala alat musik dan pandai bernyanyi. Itu yang Ia turunkan pada kami, anak-anaknya, yang mana hal itu bisa jadi nilai plus untuk diapresiasi di lingkup sosial. Ayah juga orang yang taktis karena pengalamannya berinteraksi dengan bangsatnya orang-orang diluar sana. Sehingga dia tahu caranya survive. Maka dari itu ketika ada masalah dengan teman aku selalu mendapatkan solusi jitu dari Ayahku untuk menang. Dan tanpa sadar itu memupuk karakterku ketika berinteraksi dengan manusia. Sarkas dan satire jadi senjata.
Setelah Ibu pergi, Ayah mulai banyak cerita. Selama ini gaji ibu besar dari hibah-hibah penelitiannya. Dan semua itu Ayahku ikut membantu. Bantu buat proposal, bantu ide, bantu survey lokasi penelitian, bantu melatih masyarakat objek penelitian. Jadi selama ini Ayah punya peran besar dalam prestasi Ibu menjadi Dosen hingga diposisi Lektor. Ayah yang tak terlihat akademis nyatanya punya kecerdasan akademis juga. Bahkan dia pernah membuat blog bagaimana agar skripsian lancar dan itu dipraktekkan oleh sepupuku di Bandung. Dan dia sangat takjub dengan tulisan ayahku. Tapi kenapa aku, anaknya sendiri, tak takjub sama sekali?
Dulu Ibu sering protes kenapa Ayah sering pulang malam. Ternyata ayah ke warnet. Ayah belajar banyak hal diwarnet untuk mencari penghasilan tambahan. Ayah belajar blogging. Ayah belajar dari youtube. Yang mana orangtua-orangtua seumurannya belum tahu teknologi itu, waktu itu. Aku kaget bahwa ayah pernah belajar buat website dan beli hosting. Ayah memutar otak mencari ide. Karena saat itu internet hanya bisa didapatkan di warnet. Makanya dia pulang malam karena sepulang kantor dia mampir warnet dulu. Kecerdasanku soal teknologi, ternyata menurun dari Ayah. Ya karena Ibuku memang lebih gaptek.
Dulu aku memandang sebelah mata Ayahku yang gajinya lebih kecil. Ternyata Ayah idealis dan menolak untuk naik jabatan dengan mudah. Karena dia seorang PNS, dia membuat komitmen dengan Ibu bahwa dia tak akan ambil jalan pintas hanya untuk penghasilan lebih tinggi. Tak apa penghasilannya stagnan tapi pekerjaannya tak bertolak dengan hati nuraninya. Dibalik sifatku yang materialistis, aku masih punya batasan moral dan masih bisa melihat mana yang baik dan buruk. Ini berkat idealisme Ayah yang diturunkannya padaku.
Aku yang sering protes karena tak pernah melihat ayah mengaji atau ke masjid. Diam-diam ternyata Ayah mengaji. Melihat ceramah ustadz-ustadz di youtube. Ia memang gengsian. Tak suka memperlihatkan kebaikan, kalaupun demikian itu akan dibalut candaan sehingga membuat kita tak percaya. Tapi hal ini menurun padaku sehingga orang melihat sisi burukku yang sebenarnya tak begitu buruk. Tapi kadang kita perlu bersembunyi dibalik kejelekan diri sendiri yang kita tonjolkan, untuk membuat sisi baik kita lebih baik lagi. Agar tidak terdistraksi riya. Apalagi di jaman sosmed seperti ini. Godaan riya’ hangat sekali.
Suatu hari aku melihat Ayahku, yang membesarkan anak perempuannya sekian lama, harus melihat anak perempuannya dicampakkan secara tidak bertanggungjawab oleh pasangannya. Ayah yang biasanya bisa naik pitam karena darah Maduranya, Ia malah memutuskan untuk sabar dan menyelesaikan semua dengan baik. Aku tahu betapa Ia sangat menahan amarah. Justru aku yang emosi dan jiwa balas dendamku seolah muncul kembali. Dikepalaku sudah banyak sekali skenario yang ingin kujalankan untuk menjatuhkan orang yang merusak martabat keluargaku. Tapi aku tak mendapat izin dari Ayah karena ia ingin tetap menjalin hubungan baik dengan sesama keluarganya. Aku terdiam dan berfikir lagi. Ayahku berjiwa besar dan pemaaf. Ternyata.
Balas dendam bukan hak kita. Ketika kita merasa terdzolimi, hanya Allah yang berhak membalaskannya. Bisa saja ini adalah buah dari kedzoliman kita terhadap orang lain. Kita gapunya hak membalas karena kita gapernah tahu apakah ini ujian atau balasan. Lebih baik energi dendam itu kita gunakan untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dan tanpa sadar ini menjadi pedomanku dari dulu ketika ayah menasihatiku saat punya masalah dengan orang. Dendam yang tak sengaja hadir, kekecewaanku terhadap manusia, lebih baik dialihkan ke hal yang lebih produktif untuk mencapai apa yang kita mau. Hal itu yang menumbuhkan jiwa besar kita untuk perlahan memaafkan orang dan mengalihkan emosi ke hal yang lebih produktif.
Deteksi Psikologi Anak Sejak Dini Adalah Tindakan Tepat
Tanpa sadar, aku salah menilai Ayahku selama ini. Aku ingin sekali minta maaf atas segala tuduhanku pada Ayah selama ini. Tapi aku terlalu gengsi. Dan gengsi itupun aku dapatkan dari Ayah hahaha…
Tapi yang aku pelajari dari Ayah, Ayah gak pernah memilih punya anak psycho sepertiku. Anak yang sedari kecil materialistis, pendendam dan perfectionist. Ayah tak pernah tahu ada sifat-sifat itu yang tumbuh dalam diri anaknya yang masih kecil. Tapi ia selalu saja membiarkan anaknya berprasangka buruk karena dia mungkin malas menjelaskan. Dijelaskan pun aku tak akan mengerti. Tapi yang dia bisa hanyalah action. Walau tak terlihat. Yang mana aku baru mengerti ketika dewasa.
Tapi jika aku bisa flashback, aku ingin tak hanya menuntut dan mengerti posisi mereka. Karena mendidik anak tak mudah. Aku juga ingin lebih banyak dialog. Aku berharap tak banyak yang ditutupi. Ayah dan Ibuku cukup meremehkanku karena aku dianggap belum mengerti. In fact, aku tumbuh sebagai anak yang cerdas. Aku butuh jawaban rasional dan masuk akal. Ketika aku ingin sesuatu dan mereka tak sanggup membelikan, bukan jawaban “Jangan, Ibu gak punya uang” yang ingin aku dengar. Karena jika kalian gak punya uang, kenapa kemudian bisa beli karpet atau kipas angin? Kenapa masih bisa bayar SPPku? Lebih baik beli pengertian bahwa, sebenarnya kami punya uang tapi harus diprioritaskan ke hal yang lebih penting. Jika kamu mau mainan, bantu kami untuk menabung ya. Hal seperti itu yang lebih ingin aku dengar.
Buat kalian yang punya anak, jangan remehkan anak kecil. Aku terdeteksi perfectionist ketika umur 10 tahun, padahal aku sudah materialistis sejak umur 7 tahun. Orangtuaku tahu aku cerdas tapi tetap kurang diajak dialog sehingga aku terus bertanya-tanya ada apa dan kurang mengerti, sehingga kurang empati kemudian. Untuk anak yang sepertiku, penting untuk diajari empati sejak dini. Dan empati itu bisa aku dapatkan dari hal-hal yang masuk akal karena diberi pengertian. Jika tidak, aku hanya mengaggap orang-orang pengemis dijalanan karena mereka malas bekerja. Maunya minta saja.
Tapi aku bersyukur orangtuaku mendeteksi psikologiku waktu kecil sehingga aku bisa relate kenapa sifatku seperti ini sekarang. Jika aku punya anak nanti, aku akan sebisa dan sesering mungkin untuk mengajaknya dialog dan ikut berfikir. Tak harus membuatnya berfikir tentang susahnya cari uang, jangan. Tapi mengajak berfikir soal membuat keputusan. Seperti mengapa kita tidak mudik tahun ini, hikmah dari tidak mudik apa, dan sometimes keadaan tidak terduga tapi hey, ini dari Allah dan kita dapat hikmahnya, agar kelak dia tumbuh menjadi orang yang bisa survive dikeadaan apapun.
Buat Ayah…
Maaf ya yah I’ve done so many terrible things hehe that’s because I don’t understand. But now I knew how wonderful you are. Ayah adalah ayah yang hebat. Kalo aku terlahir lagi aku bakal tetep milih jadi anak Ayah :)
Makasih Ayah atas semua support buatku selama ini, semua gambar yang dipigurain padahal sebenernya ga bagus-bagus amat. Makasih udah menghiburku saat kalah lomba, makasih udah menyembunyikan kesedihan Ayah sehingga kita ga sedih-sedih amat, Makasih udah jadi Ayah yang super, Makasih udah protektif sehingga aku ga terjerumus ke hal-hal yang ga bagus dan menghancurkan masa depanku.
Makasih Ayah! :)